Merombak Praktik Perencanaan Ruang[1]

Merombak Praktik Perencanaan Ruang[1]

Oleh Marco Kusumawijaya[2]

from : http://mkusumawijaya.wordpress.com

Selama 40 tahun, tidak satu pun kota di Indonesia yang dapat menyatakan dirinya telah menjadi lebih baik berkat perencanaan ruang yang baik. Apa artinya ini?

Tentu saja kita dapat menumpahkan semua kesalahan pada hal-hal besar yang biasa: hegemoni ekonomi dan politik. Tetapi, apakah masuk akal menyalahkan “mereka”, sementara kita tahu bahwa tiap perencanaan ruang memang harus bekerja dengan politik ekonomi dan ekonomi politik?

Saya cenderung menduga ada yang salah secara mendasar pada praktik perencanaan ruang itu sendiri. Di dalam “praktik perencanaan ruang”, selain hal-hal yang biasa dibayangkan, saya mencakup hal yang dalam konteks kekinian menurut saya harus menjadi pusat perhatian, ialah epistemologi yang mendasarinya, serta hubungan-hubungan kepentingan-kepentingan yang melingkupinya.

Kasus Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Jakarta 2010-2030 mengagetkan warga dan para profesional generasi terkini dengan berbagai latar belakang berbeda seperti arsitektur, perencanaan kota, ilmu-ilmu lingkungan, sosial politik, ekonomi dan hukum, serta para pejuang kaum miskin kota dan hak-hak ekonomi, sosial dan budaya.

Yang terutama mengagetkan bukanlah sikap pemerintah yang menganggap “semua sudah dilakukan dengan baik sesuai dengan prosedur” dan BAU (Business as Usual), yang dapat diduga sejak awal dan sangat lazim diharapkan. Yang terutama mengagetkan adalah prosesnya yang tidak partisipatif dan kualitas sangat rendah dari Naskah Akademik dan Rancangan Peraturan Daerah (RAPERDA) RTRW tersebut. Yang terakhir ini mau tidak mau menunjuk kepada para konsultan dan profesor universitas yang terlibat di dalamnya. Kalau kita beranggapan bahwa seharusnya para konsultan dan profesor itu memiliki kompetensi dan integritas akademik yang baik, maka patut diduga ada sistem operasional yang menyebabkan hasil kerjanya tidak bermutu.

Pada saat bersamaan, penting pula mencatat bahwa perjuangan Koalisi Warga untuk Jakarta 2030 sama sekali tidak (atau belum?) mendapat dukungan eksplisit dari Ikatan Arsitek Indonesia (IAI) dan Ikatan Ahli Perencanaan Indonesia (IAP), dua organisasi profesi yang paling berkepentingan tetapi—justru mungkin karena itu—paling tidak mau mendukung perjuangan koalisi tersebut. Sebagian pelaku dalam dunia perencanaan ruang Indonesia memiliki kompetensi yang didapatkan tanpa fondasi disiplin ilmu tertentu. Hal ini terjadi karena sekolah tinggi di Indonesia memperlakukan “perencanaan kota dan wilayah” sebagai jenjang S1, suatu jenjang yang seharusnya diberikan kepada “disiplin ilmu”, bukan pada “praktik” profesional tertentu seperti profesi perencanaan ruang itu.

Seorang wartawan asing berkata kepada saya, “Saya bingung bagaimana angle untuk menulis hasil wawancara dengan Anda, karena semuanya nampak begitu gamblang, jadi mengapa tidak ada perubahan, setelah 40 tahun, setelah 12 tahun reformasi?”

Hanya beberapa kemungkinan yang tersisa.

Pertama, adalah “wajar” terjadi peremehan terhadap peran perencanaan itu sendiri.  Sebab, selama 40 tahun perencanaan menjadi tidak ada gunanya. Pelanggaran-pelanggaran yang terus menerus dibiarkan atau dikecualikan dengan kekuasaan khusus (discretion) telah efektif menghapuskan kredibilitas perencanaan ruang.  Ini menimbulkan sinisme dan apatisme di kalangan masyarakat luas, dan sikap instrumentalis di kalangan birokrasi. Perencanaan ruang dianggap tidak perlu dibuat serius dan justru harus kabur dan umum sehingga mudah diubah oleh birokrasi berdasarkan keperluan pembangunan, menurut tafsir elit.

Ada epistemologi untuk membenarkan status quo di atas. Discretionyang besar  harus tetap ada pada birokrasi, yang bersama para ahli, memiliki monopoli atas pengetahuan yang benar untuk membuat keputusan-keputusan yang dianggap serba teknis, makro, dan mengabdi kepentingan lebih besar. Keputusan harus  diserahkan kepada “yang ahli”, bukan kepada “yang berkepentingan”. Kata “yang ahlinya” telah menjadi olokan yang sering digunakan untuk menyerang pencetusnya, Gubernur Fauzi Bowo. Saya tidak menggunakannya untuk itu, karena hal itu tidak penting. Saya menggunakannya sebagai suatu aikon dari suatu jaman, ketika tata ruang dianggap sepenuhnya otoritas mereka yang kompeten,  para “ahli” itu. Mereka lebih tahu gambar besar, kepentingan lebih besar, dan bagaimana rincian teknis segala sesuatu. Rakyat cukup menerima keputusan mereka yang dianggap dengan sendirinya akan adil dan benar. Tidak perlu dirinci kiranya, bahwa pemikiran yang naif ini memang berpura-pura dengan dua hal. Pertama bahwa segala hal dapat di-obyektif-kan secara teknis. Dan, kedua, para ahli dengan sendirinya obyektif, tidak punya bias dan kepentingannya sendiri. Kini, rupanya belum dimengerti benar, atau sengaja diabaikan, bahwa desentralisasi produksi ilmu pengetahuan sudah menjadi kenyataan. Selain itu, mungkin sekali ada ketakutan akan terbukanya kotak pandora, karena menyangkut kepentingan berbagai pihak, belum mampunya pemerintah melayani dan menyalurkan aspirasi serta kemampuan masyarakat membangun bersama. Hal ini terang benderang dan gamblang, tetapi untuk mengubahnya diperlukan kepemimpinan yang berani merombak.

Bahkan “yang berkepentingan” belumlah suatu konsep yang dikenal sebagai “rakyat”. Yang bekepentingan adalah pihak-pihak yang “berpengaruh”, ialah para elit, bukan rakyat kebanyakan. “Serahkan kepada yang ahlinya” adalah epistemologi khas orde baru dalam perencanaan ruang—dan mungkin dalam banyak hal lainnya—yang  dianggap sebagai masalah teknis semata, bukan masalah pilihan demokratis,  sebagai masalah “para ahli”, bukan masalah “warga yang berhak dan berkepentingan”.

Langkah awal yang merupakan kunci untuk melakukan reformasi adalah proses partisipasi warga secara penuh dan menentukan. Sebab, melalui ini, transparansi terjamin. Di bawah cahaya transparansi inilah kita bisa mengetahui persoalan lebih jelas, mana-mana yang perlu diubah, dan kita akan ubah. Untuk melaksanakan suatu perencanaan jangka panjang yang melewati masa jabatan politik, seperti RTRW Jakarta 2010-2030 ini, seharusnya dibentuk suatu Komisi dengan tugas khusus dan terbatas tetapi dengan wewenang yang luas untuk memmanfaatkan sumber daya kelembagaan yang ada. Komisi seperti ini lazim di banyak negara lain.

Berkat beberapa peraturan perundangan baru yang makin eksplisit memuat hak dan proses partisipatif, sebenarnya perencanaan ruang yang partisipatif bukan lagi sekedar aspirasi untuk masa depan, tapi sudah merupakan keharusan masa kini. Undang-undang itu antara lain adalah Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No. 15 Tahun 2009 tentang Pedoman Penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah Propinsi, Undang-Undang No 14 Tahun 2008 tentang Kebebasan Informasi Publik, Undang-undang No 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, dan Undang-undang No. 32 Tahun 2009 tentang Pengelolaan dan Perlindungan Lingkungan Hidup.

Kita hanya perlu terus mendesakkannya sebagai hak dan kebutuhan bagi masa depan yang lestari.

Kalau kita, termasuk para arsitek, hanya bertujuan produk “RTRW yang baik”, maka kita akan terjebak pada “yang baik menurut kita, arsitek”. Malah saya dengar ada arsitek yang mengharapkan suatu RTRW yang fleksibel, sehingga nanti para arsitek punya peluang besar membuatnya lebih baik (menurut arsitek). Ini kesalahan berpikir yang patut di hindari, karena akan mengembalikan kita kepada elitisme.

Itulah sebabnya kami menganggap peran kita sebagai “warga”  lebih mendasar daripada peran kita sebagai arsitek, dalam memperjuangkan proses yang baik ini. Tentu dalam hal lain, peran kita sebagai arsitek akan menonjol dalam kesempatan yang tepat.

Kalau kita semua kompeten sebagai arsitek, sudah pasti pertama-tama kita kompeten sebagai “warga”.

Ke-arsitek-an kita adalah plus point untuk membantu warga semua mencapai tujuan bersama. Kalau kita merasa “lebih”, maka kita harus memimpin dengan mengajak dan mengangkat warga lain, bukan dengan meminta privilese dan discretion power yang lebih besar.

Kalau tujuannya hanya “rtrw yang baik menurut kompetensi arsitek”, maka memang mudah mencapainya dengan lobby di balai kota.
Tetapi, itu akan berarti kita mengkhianati rakyat kita, rakyat Jakarta, yang sama sekali tidak mendapat peluang yang sama dengan kita (karena kita sarjana) untuk juga didengar di balai kota.

Karena itu, tujuan Koalisi Warga untuk Jakarta 2030 bukanlah sekedar hasil akhir RTRW 2030 yang baik, melainkan (proses) tata cara penyusunan RTRW 2030 yang baik. Visi Koalisi Warga untuk Jakarta 2030 adalah: Warga terlibat aktif  dan sepenuhnya sebagai pemangku-kepentingan utama dalam penyusunan RTRW Jakarta 2010-2030.

Kami percaya bahwa proses yang baik akan menghindarkan hasil yang buruk. Selain itu, proses yang baik, yang intinya mengandung proses partisipatif, punya peluang besar menghasilkan kota yang baik, karena proses yang partisipatif dapat menggerakkan rasa memiliki dan tindakan bersama.

Untuk itu tiga hal perlu dilakukan (misi Koalisi Warga untuk Jakarta 2030):

  1. Memberdayakan dan meningkatkan kemampuan semua pihak untuk terlibat dalam proses partisipatif  dengan baik.
  2. Merombak praktik perencanaan ruang
  3. Meningkatkan kesadaran semua pihak tentang pentingnya pendekatan partisipatif.

Jakarta, 15 Mei 2010.

Marco Kusumawijaya

Direktur, Rujak Center for Urban Studies (RCUS)

editor www.rujak.org

mkusumawijaya@rujak.org

http://www.mkusumawijaya.wordpress.com


[1] Disampaikan pada Diskusi Ikatan Arsitek Indonesia (IAI) Jakarta, Peran Arsitek dalam Penataan Ruang Jakarta, Sabtu 15 Mei 2010, Taruma Grand Ballroom, Universitas Tarumanagara.

[2] Direktur, Rujak Center for Urban Studies (RCUS); editorwww.rujak.orgmkusumawijaya@rujak.org; http://www.mkusumawijaya.wordpress.com

25 Kota Paling Kotor Di Dunia

No. 25: Port Harcourt, Nigeria

Masalah dengan pembuangan sampah terus mencemari sungai-sungai Nigeria, terutama yang mempengaruhi penduduk di Port Harcourt. Daerah ini tidak memiliki strategi untuk mencegah tumpahan minyak dan pencemaran, dan metode-metode pembersihan setelah bencana memerlukan perbaikan yang banyak.

No. 24: New Delhi, India

Anda akan menemukan hampir semua kehidupan laut kecuali di New Delhi Sungai Yamuna. Sampah dan aliran limbah secara bebas, menciptakan lingkungan yang kaya untuk pertumbuhan penyakit terbawa air memberikan kontribusi ke tingkat yang sangat tinggi morbiditas bayi.

No. 23: Maputo, Mozambique

Terletak di Samudra Hindia, negara Afrika Timur Mozambik menderita dari kurangnya proses sanitasi – sekutu spesifik kurangnya sistem pembuangan limbah padat maupun pengolahan limbah. Ibukota Maputo merasakan konsekuensi terburuk ini.

No. 22: Luanda, Angola

Terletak di pantai Angola dengan Samudra Atlantik di barat, Luanda adalah kota pelabuhan terbesar. Studi dari beberapa instansi, termasuk UNICEF dan Oxfam, menunjukkan bahwa sebagian besar penduduk di Luanda air minum kualitas berbahaya miskin dan dalam beberapa kasus. Sebagian besar ini sebagian penduduknya tinggal di pemukiman yang disebut musseques dibangun di atas sampah mengeras. Air datang ke pemukiman ini di tangki swasta, yang secara konsisten menunjukkan tingkat tentang kaporit.

No. 21: Niamey, Niger

Sungai Niger Basin, rumah bagi ibukota Niger, Niamey, adalah limbah dari polusi dan limbah. Di negara dengan total populasi hanya dibawah 14 juta, harapan hidup sehat pada waktu lahir adalah 35 untuk pria dan 36 untuk wanita, sebagian berkat sanitasi yang buruk dan air minum. Sekitar satu dari empat anak-anak dibesarkan di sini akan mati sebelum usia 5, Organisasi Kesehatan Dunia mengatakan.

No. 20: Nouakchott, Mauritania

Terletak di Afrika utara, Mauritania duduk di Samudera Atlantik Utara antara Senegal dan Sahara Barat. Nouakchott, ibukota negara, terletak di pantai barat. Karena iklim gurun-seperti, kekeringan dan pengelolaan air merupakan isu penting bagi negara. deposito minyak lepas pantai dan bijih besi menjadi peluang utama negara industri, namun sebagian besar penduduk bergantung pada pertanian.

No. 19: Conakry, Guinea Republic

Harapan hidup, morbiditas bayi, dan persentase penduduk yang memiliki akses terhadap air yang aman yang teramat rendah untuk Conakry, ibukota Republik Guinea. Sebelumnya Bank Dunia inisiatif di Conakry difokuskan pada penyediaan air dan sanitasi tidak terbukti sangat sukses.

No. 18: Lome, Togo

Lome, ibukota Togo, duduk di dekat perbatasan barat daya negara dengan Ghana. Air dan pengelolaan limbah telah menjadi salah satu masalah utama negara sebagai persentase besar penduduk terus hidup tanpa akses ke air yang diperbaiki atau sanitasi.

No. 17: Pointe Noire, Congo

Kongo kota kedua dalam daftar menderita banyak polutan yang sama sebagai kota tetangga, polusi Brazzaville–udara dari emisi kendaraan bermotor dan pencemaran air yang tak terkendali dari massa bongkar muat limbah dalam penyediaan air baku kota. Menurut WorldFactBook CIA, sekitar 70% dari penduduk hidup baik di Kongo Brazzaville atau Pointe Noire atau sepanjang jalur kereta api.

No. 16: Bamako, Mali

Bamako, ibukota Mali, dan kota terbesar terletak di Sungai Niger. Pertumbuhan penduduk yang cepat, ditambah dengan polusi perkotaan tak terkendali, adalah salah satu tantangan kesehatan dan sanitasi menghadapi banyak modal. Beberapa kekeringan telah menyebabkan migrasi dari daerah pedesaan ke perkotaan lingkungan ibukota.

No. 15: Ouagadougou, Burkina Faso

Sebuah studi Bank Dunia baru-baru ini menunjukkan bahwa kanker dan tingkat penyakit pernapasan yang sampai karena polusi udara meningkat di Ouagadougou, ibukota Burkina Faso. Peningkatan tingkat benzena, dari bensin sepeda motor, dan peningkatan partikel debu, sebesar rata-rata hampir tiga kali batas sehat WHO-lain.

No. 14: Moscow, Russia

Di kota di mana Anda dapat membayar $ 3.000 per bulan untuk sebuah apartemen yang bahkan tidak memiliki air bersih, Moskow juga memiliki tingkat polusi udara yang mengganggu, yang menyajikan ketegangan sehari-hari pada kesehatan paru-paru.

No. 13: Bangui, Central African Republic

Bangui, ibukota Republik Afrika Tengah, menghadapi tantangan air dan sanitasi yang mirip dengan ibukota negara-negara tetangganya. Seorang penduduk meningkat cepat, ditambah dengan kurangnya limbah yang memadai dan pengelolaan air.

No. 12: Dar es Salaam, Tanzania

Ibukota negara Afrika timur ini terus tumbuh populationwise, menempatkan stres di program sanitasi kota. limbah padat, memasuki Sungai Msimbazi, memberikan kontribusi untuk penyakit menular menyebar luas di kalangan penduduk.

No. 11: Ndjamena, Chad

Ndjamena, ibu kota Chad, menghadapi tantangan pengelolaan air multi-faceted. Sebuah situs utama untuk perhatian di sini adalah Cekungan Konvensional Danau Chad, di mana perikanan utama negara sangat tergantung. Juga penting – masuknya terus-menerus pertumbuhan penduduk.

No. 10: Brazzaville, Congo

polusi udara dari emisi, kekurangan air minum dan pencemaran air di kota ini dari kotoran mentah berkontribusi ke daftar binatu kesehatan dan sanitasi keprihatinan untuk Brazzaville, ibukota Kongo. Setiap pers ini atas harapan hidup penduduk setempat.

No. 9: Almaty, Kazakhstan

Pernikahan berbasis industri perminyakan dan perlindungan memadai terhadap pencemaran menata panggung untuk krisis lingkungan di kota ini. kotor dan penuh limbah beracun memerlukan harga yang sangat besar untuk perbaikan dan harga yang lebih besar untuk diabaikan.

No. 8: Baghdad, Iraq

Miskin kualitas air di Baghdad mengancam untuk memperburuk transmisi penyakit terbawa air di kota. Fatal wabah kolera melanda beberapa provinsi di negeri ini, termasuk Baghdad dari Agustus 2007 sampai Desember 2007. United Nations Environment Programme (UNEP) juga mengatakan polusi udara.

No. 7: Mumbai, India

Pemerintah India berharap untuk mengubah Mumbai kembali menjadi sebuah metropolis yang berkembang setelah penurunan ekonomi baru-baru ini. Sebuah laporan sektor swasta baru-baru ini, Visi Mumbai, perubahan yang diusulkan di bidang infrastruktur, pengendalian polusi dan strategi pertumbuhan ekonomi, yang berdampak pada pencarian sekitar $ 1 miliar bantuan dari pemerintah India.

No. 6: Addis Ababa, Ethiopia

Addis Ababa, ibukota Ethiopia, wajah salah satu masalah sanitasi terburuk di kedua benua Afrika dan juga di dunia. Kurangnya program-program sanitasi yang memadai mengakibatkan kematian bayi.

No. 5: Mexico City, Mexico

Mexico City, ibukota Meksiko, dan ibukota polusi udara Amerika Utara, estimasi emisi ozon tidak sehat hampir 85% tahun ini. lokasi geografis Meksiko – di tengah sebuah kawah gunung berapi dan dikelilingi oleh pegunungan – hanya berfungsi untuk mengunci di polusi udara.

No. 4: Port au Prince, Haiti

Kekerasan negara dan korupsi politik terinspirasi dengan baik didokumentasikan. Sama-sama berbahaya: udara dan air. Melayani sebagai salah satu pelabuhan utama di pulau Hispaniola, Port au Prince merupakan pusat pembangunan ekonomi Haiti.

No. 3: Antananarivo, Madagascar

Madagaskar, terletak di pantai tenggara Afrika di Samudra Hindia, membuat daftar tahun ini dengan ibukota, Antananarivo. Terkenal ragam flora dan fauna yang unik, Madagaskar sering disebut sebagai benua kedelapan di dunia, tapi dampak dari populasi manusia dengan cepat meninggalkan jejak

No. 2: Dhaka, Bangladesh

Terletak di Asia selatan, antara Burma dan India, Dhaka, ibukota Bangladesh pertempuran dengan ancaman pencemaran air. Permukaan air sering tebal dengan penyakit dan polusi dari penggunaan pestisida komersial.

No. 1: Baku, Azerbaijan

Dikelilingi oleh Iran, Georgia, Rusia dan Armenia di Laut Kaspia, Azerbaijan telah lama hub minyak. Akibatnya, Baku, ibukota, menderita dari tingkat yang mengancam hidup dari polusi udara yang dipancarkan dari pengeboran minyak dan pengiriman.

BONUS:

Negara Kucurkan Rp10 Miliar untuk Hutan Kota

Sumber : Media Indonesia

JAKARTA–MI: Kementerian Kehutanan (Kemenhut) tahun ini memperoleh dana pembangunan hutan kota dari APBNP 2010 sebesar Rp10 miliar.

Dirjen Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial (RLPS) Kemenhut Indriastuti usai penyerahan penghargaan Wana Lestari dari Kemenhut kepada PT Pengembangan Jaya Ancol di Jakarta, Sabtu (22/5), mengakui anggaran untuk hutan kota baru dialokasikan tahun ini karena banyak usulan dari daerah untuk mengembangkan hutan kota.

“Baru tahun ini dianggarkan melalui APBN-P sebesar Rp10 miliar untuk 2.000 hektare di seluruh Indonesia. Kami belum tahu mencakup berapa kota dan wilayah. Namun dari proposal yang masuk, usulan untuk hutan kota mencapai 1.000 hektare. Kalau 1 kota mengusulkan luasan hutan kota berkisar 4-5 hektare, berarti kira-kira ada sekitar 200 kabupaten/kota,” katanya.

Menurut dia, pemerintah pusat akan mengucurkan seluruh dana yang dibutuhkan daerah dalam pembangunan hutan kota. Pengucuran dana tunai ini untuk memberikan keleluasan kepada daerah dalam pengembangan hutan kota, meski Kemenhut akan mengawasi penggunaan dana itu. “Meski demikian, kita memiliki acuan rincian besaran dana yang dibutuhkan untuk setiap jenis dalam pembangunan hutan kota.”

Yang pasti, kata Indri, kucuran baru akan dilakukan setelah ada kepastian lahan yang diperuntukkan bagi hutan kota. Paling tidak ada peraturan daerah yang menunjuk kawasan yang diusulkan sebagai hutan kota.

“Soal pengembangan hutan kota, termasuk luasannya, kami mengacu pada PP Hutan Kota dan peraturan daerah terkait. Kalau mengacu PP Hutan Kota, luasan wilayah 0,25 hektare sudah bisa disebut 1 (satu) hamparan hutan kota,” kata Indri.

Usai menyerahkan penghargaan Wana Lestari kepada Dirut PT Pengembangan Jaya Ancol Budi KaryaSumadi, Menhut Zulkifli Hasan menegaskan pentingnya pengalokasian hutan kota sebagai paru-paru kota. Apalagi, di kota padat seperti Jakarta. Hal itu, kata dia, diwujudkan dengan perubahan lokasi lapangan golf di areal rekreasi Ancol menjadi Ruang Terbuka Hijau.

“Selama ini, kita mengambil oksigen gratis. Sudah sepantasnya kita membayar dengan menyiapkan lahan, sekaligus menanam pohon di areal kosong, sehingga berfungsi lebih banyak untuk manusia. Misalnya, perubahan fungsi lapangan golf ini menjadi ruang terbuka hijau memberikan manfaat lebih kepada banyak orang ketimbang kepada segelintir orang,” kata Menhut.

Dia menjelaskan penanaman pohon di areal terbuka eks lapangan golf yang diberi nama Ancol Eco Park ini secara langsung membantu pemerintah melaksanakan penanaman 1 miliar pohon yang dipastikan bisa mengurangi dampak perubahan iklim. Pembangunan hutan kota sendiri diatur dalam peraturan pemerintah 63/2002 tentang Hutan Kota. Prosentase hutan kota, kata Menhut, paling sedikit 10 persen dari luas wilayah perkotaan atau disesuaikan dengan kondisi setempat.

Hutan kota harus merupakan bagian dari RTRWP dan memenuhi persyaratan teknis, ekologis, ekonomis, dan sosial budaya setempat. “Fungsi hutan kota sendiri bisa memperbaiki dan menjaga iklim mikro, nilai estetika, resapan air, dan menciptakan keserasian lingkungan. Memang saya kehilangan lapangan golf karena saya suka main disini, tapi saya lebih bangga lapangan golf ini menjadi ruang terbuka hijau dan bagian dari hutan kota di kawasan rekreasi,” kata Menhut.

Terkait penanaman 1 miliar pohon, Menhut optimistis bisa terealisasi akhir tahun ini. “Kalau tahun ini kami mengupayakan 1 miliar pohon, maka tahun depan bisa 1,6 miliar. Semuanya untuk membantu mengurangi dampak perubahan iklim sekaligius memberikan manfaat ekonomi kepada masyarakat sekitar hutan,” katanya.

Untuk 1 miliar pohon, kata Menhut, ditargetkan pada Agustus sudah bisa direalisasikan separuhnya yakni lebih dari 500 juta batang pohon. “Saya lihat partisipasi aktif BUMN, BUMD, swasta, dan elemen masyarakat hingga hari ini. Saya optimistis 1 miliar pohon bisa terealisasi dan akan kita lanjutkan dengan penanaman 1,6 miliar pohon,” kata Menhut. (*/OL-04)

SEMUA RTRW DIHARAPKAN TAHUN 2010 SELESAI

sumber : http://www.pu.go.id

Direktur Penataan Ruang Wilayah IV Kementerian Pekerjaan Umum (PU) Lina Marlia berharap pada tahun 2010 ini semua Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Provinsi, Kabupaten, dan Kota telah selesai. Namun, ada pengecualian bagi wilayah yang mengalami pemekaran serta belum memiliki perangkat daerah. Lina menyampaikan hl ini dalam Konsolidasi Tim Bimbingan Teknis Penataan Ruang di Wilayah IV, Jakarta (27/5).

Lina menambahkan, tim ahli bimbingan teknis di provinsi Papua, Papua Barat, Maluku, Maluku Utara, dan NTT diharapkan dapat lebih merangkul dan mendorong Pemerintah Provinsi di kelima wilayah tersebut untuk membimbing kabupaten/kota-nya.

Saat ini, Provinsi Maluku, Maluku Utara, dan Papua Barat sudah mendapatkan Persetujuan Menteri PU, sedangkan NTT masih dalam tahap revisi, dan Papua sedang dalam proses persetujuan substansi di Kementerian PU. Begitu pula 4 kabupaten di NTT dan 1 kota di Maluku pun sudah mendapatkan Persetujuan Menteri PU. Sejumlah 68 kabupaten dan 6 kota inilah yang perlu didorong kemajuan RTRW serta Raperdanya.

Lina menjelaskan, selama tiga tahun belakangan ini, Direktorat Penataan Ruang Wilayah IV sudah melakukan kegiatan bimbingan teknis. Tiga problematika yang perlu diperhatikan untuk meningkatkan kualitas bimbingan teknis, yakni pertamaadalah aspek kehutanan yang seringkali perlu penyesuaian di dokumen RTRW, sehingga tidak melanggar UU Kehutanan.  Seperti yang sekarang ini terjadi di beberapa provinsi dan kabupaten.

Kedua, masalah batas wilayah yang tidak jelas. Contohnya yang terjadi pada Kabupaten Seram Bagian Barat dan Maluku Tengah yang ditengerai dengan munculnya Keputusan MK dan Permendagri yang mengakomodasi keinginan keduanya. Kasus seperti ini harus diselesaikan terlebih dahulu, karena di luar ranah Kementerian PU, namun tetap tidak melepaskan begitu saja.

Problem terakhir adalah aspek pertambangan. Kementerian Kehutanan telah menegaskan bahwa pada setiap RTRW harus dapat memetakan wilayah-wilayah pertambangan yang ada di dalamnya. Hal ini akan meminimalisir dampak eksploitasi lingkungan. Terkadang daerah sendiri bingung, jika kedapatan potensi pertambangan yang ingin dieksplorasi di suatu zona, namun ternyata tidak diakomodir di dalam RTRW. Sehingga bila dipaksakan, kegiatannya dianggap melanggar RTRW, padahal dalam proses penyusunannya ternyata pemda tidak mengetahui dimana potensi tambang itu berada, ungkap Lina.

Hal-hal lain mengenai muatan RTRW yang harus diperhatikan dan sering ditegaskan oleh sektor (Badan Koordinasi Penataan Ruang Nasional-red) adalah penempatan ASDP, klasifikasi bandara, terminal dan pelabuhan, kawasan pertahanan dan keamanan serta fungsi lainnya. (pd/ibm)

Pusat Komunikasi Publik

010610

Pembangunan Terminal Puri Beta 2 Langgar Tata Ruang

Senin, 10 Mei 2010 | Harian Kompas

Tangerang, Kompas – Pemerintah Kota Tangerang harus membatalkan rencana pembangunan terminal di permukiman penduduk di Kompleks Perumahan Puri Beta 2, Kecamatan Larangan.

Selain melanggar sejumlah aturan, mulai dari tingkat peraturan daerah dan undang-undang, pembangunan terminal menambah beban kawasan itu sehingga memengaruhi tata ruang kawasan sekitarnya. Solusi terbaik adalah membangun kawasan ruang terbuka hijau di kawasan tersebut.

”Pembangunan terminal di kawasan perumahan ini bukan solusi terbaik. Kemacetan tidak akan teratasi. Kehadiran terminal dapat menambah beban baru di lahan itu,” kata pengamat perkotaan dari Jurusan Planologi Universitas Trisakti, Jakarta, Yayat Supriatna, dalam ”Sarasehan Menata Ruang Hidup Masyarakat Kota Tangerang” di Kiara Payung, Perumahan Puri Beta 2, Minggu (9/5).

Yayat menjelaskan, sejumlah aturan yang dilanggar jika terminal itu dibangun adalah Peraturan Daerah (Perda) Nomor 13 Tahun 2005 tentang Rancangan Detail Tata Ruang Kecamatan Larangan. Selain itu, juga melanggar Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Tata Ruang dan UU No 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Dalam perda itu, sama sekali tidak ada rencana pembangunan terminal di Puri Beta 2.

Koordinator Advokasi Korban Penggusuran sekaligus anggota Program Resolusi Konflik Jaringan Relawan Kemanusiaan, Inne Rifayantina, mengatakan, sesuai UU No 26/2007, pembangunan terminal minimal berjarak 20 kilometer dari terminal yang sudah terbangun dengan jarak terdekat.

”Terminal terdekat, Blok M, Jakarta, dan Poris Plawad. Jarak dari Puri Beta-Blok M 8,8 kilometer. Sementara jarak Puri Beta dengan Poris Plawad adalah 12 kilometer,” ujar Inne.

Sekretaris Komisi D DPRD Kota Tangerang Aulia E Kembara menambahkan, Dinas Perhubungan Kota Tangerang pernah mengkaji pembangunan terminal. Dari enam lokasi alternatif, tiga lokasi di antaranya yang dinyatakan layak menjadi terminal adalah Simpang Jalan Raya Haji Mencong, lahan kosong depan Ramayana, dan Lapangan Sudimara Barat.

”Puri Beta 2 bukanlah lokasi yang dipilih untuk dibangun terminal,” kata Aulia. (PIN)

Kabupaten dan Kota Wajib Memiliki RTRW

Sumber: http://www.penataanruang.net

Setiap daerah harus memiliki Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) sekaligus Perda-nya. Hal ini seperti yang diamanatkan dalam Undang-Undang No. 26/2007 tentang Penataan Ruang (UUPR) bahwa dua tahun setelah April 2007, Provinsi harus sudah menetapkan Perda RTRWP serta tiga tahun setelah bulan tersebut kabupaten/Kota harus menetapkan Perda-nya. UUPR sendiri juga telah mengatur kewenangan provinsi, kabupaten/kota dalam penataan ruang seperti yang tertuang pada Bab IV. Demikian disampaikan Direktur Penataan Ruang Wilayah IV Kementerian Pekerjaan Umum Lina Marlia dalam Sosialisasi UUPR dan Norma-Standar-Pedoman-Kriteria (NSPK) Penataan Ruang Bagi Peningkatan SDM Provinsi Maluku di Ambon (5/5).

Kegiatan yang diselenggarakan oleh Pemerintah Daerah Provinsi Maluku ini bertujuan untuk menjadikan seluruh pembangunan di Provinsi Maluku berbasis penataan ruang, yang dalam hal ini tertuang di RTRW.

Lina menambahkan, pengawasan terhadap kegiatan pemanfaatan ruang termasuk sanksi juga telah diatur dalam UUPR khususnya Pasal 55. Sebagai contoh, saat ini Perbankan tidak akan memberikan kredit bagi investor yang izinnya tidak sesuai dengan penataan ruang.


Umumnya Raperda RTRW terhambat di pusat dikarenakan masalah hutan maupun batas wilayah yang menjadi kewenangan Kementerian Kehutanan dan Kementerian Dalam Negeri. Sebagai upaya untuk mengatasi hal tersebut, walaupun sebagian besar wilayah timur Indonesia berupa daerah konservasi tidak menjadi halangan untuk maju. “Mengacu pada prinsip “Majulah dari hutan” hendaknya dapat dijadikan motivasi sekaligus kebanggaan wilayah timur Indonesia karena merupakan cerminan pembangunan yang berkelanjutan,” tegas Lina.

Saat ini, progress penyusunan Perda RTRW sekaligus Perda Kabupaten/Kota di Provinsi Maluku adalah yang terbaik diantara provinsi lain di wilayah timur Indonesia. Diharapkan, akhir tahun 2010 ini semua kabupaten/kota di Provinsi Maluku sudah menyelesaikan RTRW-nya sekaligus menjadikan sebagai Perda, tandas Lina. (pd/ibm)

Profesi Idaman Masa Depan

Sepuluh tahun yang lalu, profesi seperti web desain, animator, hingga pengusaha voucher pulsa belumlah terpikirkan. Kini, profesi-profesi tersebut berkembang dengan pesat. pertanyaannya, profesi baru apa lagi yang akan tercipta di masa depan?
Banyak yang belum menyadari bahwa ada beberapa jurusan kuliah yang kurang diminati, padahal berprospek cerah di masa depan. Berikut adalah beberapa jurusan tersebut.
1. Desain
Berkat orang-orang yang kreatif dan jeli melihat peluang, berbagai macam profesi yang baru dapat tercipta. Ketika masuk ke dalam industri kreatif, semua aspek akan berkembang.
Di sini, orang-orang dari  Desain dan Industri Kreatif  dengan jurusan desain produk (desain industri) akan berperan besar. Melalui tangan-tangan merekalah desain-desain mobil, sepatu, hingga alat kesehatan dapat tercipta, sebab semua produk apa pun, sebelum menjadi bentuk, tentu membutuhkan proses desain terlebih dahulu.
2. Teknik
Biasanya, jurusan-jurusan yang mengarah menjadi karyawan kurang diminati. Sebab, semua ingin bercita-cita langsung menjadi bos. Imbasnya,  teknik industri dan elektro pun agak kurang diminati. Padahal, selama  ada perkembangan pembangunan di mana-mana,  jurusan ini akan selalu dibutuhkan.
3. ICT
Jurusan Sistem Komputer memiliki prospek baik di masa depan, tetapi sayang peminatnya masih kurang karena dianggap sebagai ilmu yang sulit. Padahal jurusan ini tak terlalu sulit dan sangat menjanjikan karena mereka akan belajar mengembangkan hardware-hardware yang berkaitan dengan ICT (information, communication, and technology). Contohnya pada pengembangan gadget dan jaringan telekomunikasi.
Menariknya, lulusan jurusan ini pun akan memiliki ilmu software dan hardware. Alat-alat seperti akses control, finger print, merupakan hasil karya jurusan ini. Untuk di rumah, mereka dapat menciptakan sistem untuk mengendalk kan sistem keamanan, mengontrol penggunaan lampu, dan penggunaan AC dengan suhu otomatis. Pasar game pun membutuhkan lulusan jurusan ini.
4. Bahasa dan komunikasi
Para lulusan sastra memiliki banyak peluang untuk berkarir baik di perusahaan asing maupun instansi negara karena keahlian yang mereka miliki itu unik dan khas seperti di bidang penulisan buku, sebagai negosiator transaksi bisnis dengan pihak asing, ataupun staf konsulat di berbagai kedutaan besa r.
Demikian juga komunikasi dan hubungan internasional pun akan menjanjikan di masa depan. Apalagi dengan terbukanya perdagangan bebas dunia. Indonesia semakin membutuhkan ahli-ahli di bidang komunikasi.
5. Planologi
Karena sebagian besar orang akan hidup di daerah kota, perencanaan kota yang baik mutlak dibutuhkan. Di sini jurusan seperti Planologi  akan sangat berguna dalam mengatasi masalah perkotaan dan lingkungan.
Apalagi,  kini  perumahan biasa/landed house semakin mahal harganya dan pasar akan beralih kepada apartemen. Proses pembangunan wajib mematuhi ketentuan pemerintah tentang tata ruang kota perencanaan kota yang baik. Di sinilah  planologi memegang peranan penting di bidang untuk memberikan nasihat kepada pengembang dalam skala makro, serta berkonsentrasi kepada Real-Estat membidik potensi dunia properti nasional dan sangat menarik untuk dikembangkan.
6. Kesehatan dan Pendidikan
Peminat  jurusan kesehatan akan semakin meningkat. Apalagi kecenderungan orang kini tak hanya butuh kesehatan, tetapi mereka butuh kualitas dari kesehatan. Oleh sebab itu, jurusan seperti Fisioterapil akan terus berkembang, demikian juga dengan Farmasi  pun akan semakin  maju dengan ilmu herbalnya. Dari segi pendidikan, profesi guru pun semakin menjanjikan. Apalagi bentuk-bentuk pendidikan yang khusus, misalnya menjadi pengajar anak penyandang autisme.
7. Bisnis
Bisnis dipercaya akan berkembang di masa depan. Apalagi melihat semangat kewirausahaan yang semakin tumbuh di Indonesia. Namun, tentu tak sembarang pebisnis yang  dapat sukses. Pebisnis yang dapat  menjadi agen perubahan akan berhasil di masa depan. Selain itu, mereka pun dapat melakukan hal yang strategic, integratif, dan bermoral luhur.
Beberapa profesi di atas merupakan sedikit gambaran sekaligus pembuktian bahwa tak selamanya jurusan yang kurang populer, tak berprospek. Sekarang, tinggal bagaimana caranya menjadi generasi yang memiliki ilmu unik dan tentu kreatif.

sumber : Inspirasional Koran Kompas, 8 April 2010

KEBIJAKAN IMPLEMENTASI HEART OF BORNEO INITIATIVE DISEPAKATI

http://www.pu.go.id

Heart Of Borneo (HoB) Initiative adalah kerjasama lintas batas bersifat suka rela antara Brunei Darussalam-Indonesia-Malaysia, yang memadukan kepentingan para stakeholder, dengan didasarkan pada kearifan lokal dan kepatuhan akan hukum, peraturan, serta kebijakan di negara yang bersangkutan. Selain itu mempertimbangkan pula perjanjian-perjanjian regional serta bilateral yang telah ada. Deklarasi HoB sendiri telah ditandangani pada 12 Februari 2007 di Bali, Indonesia.

Sebagai forum tertinggi, HoB yang menginisiasi, memelihara dan menyediakan mekanisme konsultasi, rekomendasi dan kerangka acuan bagi ketiga negara dalam pengembangan dan implementasi HoB initiative, maka diadakanlah Trilateral Meeting. Tahun ini, Trilateral Meeting telah memasuki pertemuan ke-4 yang diadakan di Bandar Seri Begawan, Brunei Darussalam pada tanggal 19-23 April 2010. Rangkaian kegiatan dari pelaksanaan Trilaterial Meeting antara lain meliputi Working Group Meeting on Institutional Arrangement & Modalities for HoB, The Fourth Heart Of Borneo Trilateral Meeting, dan Workshop on “The Next Frontier : Forests to Reefs – Challenges & Opportunities”.

Rangkaian HoB Trilateral Meeting IV diawali dengan Working Group Meeting on Institutional Arrangement & Modalities for HoB yang diselenggarakan pada tanggal 19 April 2010, antara perwakilan pemerintah ketiga negara. Perwakilan pemerintah Indonesia untuk working group meeting ini dikepalai oleh Direktur Penataan Ruang Wilayah III Kementerian Pekerjaan Umum, Wahyono Bintarto dan Juru Bicara dari Kementerian Luar Negeri, Tjetjep Herawan. Selain itu diikuti pula oleh perwakilan dari Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Kementerian Kehutanan, Kementerian Luar Negeri, Kementerian Pertahanan, Kementerian Pertanian, serta perwakilan KBRI untuk Brunei Darussalam.

Beberapa agenda yang dibahas adalah finalisasi draft “Institutional Arrangement and Modalities for the Implementation of the Heart of Borneo Initiative” serta beberapa isu yang akan dibahas dalam The 4th HoB Trilateral Meeting yaitu Sustainable Financing for the HoB, GIS (Geographic Information System) Working Group, dan logo HoB. Hasil dari working group meeting ini adalah disepakatinya konsep Institutional Arrangement and Modalities for the Implementation of the Heart of Borneo Initiative yang akan dibahas lebih lanjut pada The 4th HoB Trilateral Meeting yang akan dilaksanakan pada tanggal 21-22 April 2010. (bin/ibm)

Pusat Komunikasi Publik\

220410

Memasyarakatkan Rencana,Merencanakan Masyarakat

Memasyarakatkan Rencana, Merencanakan Masyarakat

Oleh : Elkana Catur Hardiansah, ST
Pengurus Nasional IAP
Penataan ruang dan masyarakat sejatinya merupakan bagian tidak terpisahkan dari sebuah proses pembangunan. Mendikotomikan antara proses penataan ruang dengan proses bermasyarakat jelas bukan sebuah paham yang akhir-akhir ini dianut oleh sebagian besar Pemerintahan. Para pengajar Planologi sejak dahulu kala memberikan pemahaman kepada kita bahwa penataan ruang terdiri dari 3 aspek, yaitu: perencanaan, pengendalian dan pemanfaatan, sebuah prinsip yang telah diyakini bertahun-tahun dan melewati penelitian dan peristiwa empirik.
Dalam proses tersebut masyarakat memegang peran penting dalam pelaksanaan dari hulu ke hilir. Pertanyaan yang saat ini sering diwacanakan adalah :
  • Apakah masyarakat mengerti soal penataan ruang?
  • Masyarakat yang seperti apa yang harus dilibatkan dalam penataan ruang?
  • Bukankah kehadiran masyarakat akan menambah “ongkos produksi” proses penataan ruang?
  • Bukankah tugas perencana untuk memberikan pencerahan (enlightment) kepada masyarakat mengenai penataan ruang?
Pertanyaan yang sepertinya tidak up to date ditanyakan pada era reformasi dan desentralisasi. Akan tetapi di alam bawah sadar banyak perencana, pertanyaan-pertanyaan seperti ini terus mengemuka. Implikasinya adalah tidak sinerginya produk penataan ruang dan realitas masyarakat. Pada tulisan ini, diskusi dipersempit hanya pada salah satu aspek yaitu aspek perencanaan. Hal ini dilakukan, bila dianalogikan dalam permainan sepakbola, seperti memilih jenis lapangan yang nyaman untuk dimainkan. Sering kali terjadi perencanaan tidak pernah menjadikan masyarakat sebagai konsideran dalam menyusun rencana. Akan tetapi yang sering terjadi adalah masyarakat disalahkan sebagai biang keladi kekacauan dalam pemanfaatan dan pengendalian ruang.
Masyarakat dan perencana
Proses penataan ruang merupakan proses yang dilakukan dalam rangka mencapai sebuah kestabilan dalam konteks ke-ruang-an. Sehingga setiap aktivitas yang ada di dalamnya merupakan sebuah usaha yang dilakukan dan memiliki titik fokus untuk mencapai sebuah kondisi ke-ruang-an dalam konteks problem solving, future oriented dan resource allocation. John Friedman (1987) memberikan definisi lebih luas mengenai planning sebagai upaya menjembatani pengetahuan ilmiah dan teknik (scientific and technical knowledge) kepada tindakan-tindakan dalam domain publik, menyangkut proses pengarahan sosial dan proses transformasi sosial.
Friedman dalam bukunya Planning In The Public Domain (1987) mengintrepetasikan tradisi perencanaan yang berkembang di dunia sebagai dua buah aspek fungsi formal societal guidance dan societal transfromation. Dalam societal guidance perencanaan diartikulasikan oleh pemerintah dengan menekankan perubahan yang sistematis. Aspek ini dikenal dengan sebutan top-down planning. Aspek societal transformation merupakan tradisi perencanaan yang bergeser dari societal guidance dan menginginkan terbentuknya sebuah tatanan masyarakat yang menentukan nasibnya sendiri dan segala sesuatu yang diarahkan dari bawah (bottom-up planning). Tradisi ini secara ekstrem ingin mengeliminir peran pemerintah dalam perencanaan.
Pandangan Tradisi Perencanaan Terhadap Peran Masyarakat dalam Perencanaan
Tradisi Reformasi Sosial
Tradisi Analisis Kebijakan
Tradisi Pembelajaran Bersama
Tradisi Mobilisasi Sosial
· Perencana sebagai teknokrat yang mendengarkan tanpa harus memeriksa
· Reformasi politik akan berpikir secara postivistik daripada menekankan proses keterlibatan aktor sosial dalam proses
· Masyarakat ilmiah akan memandu jalur pasti menuju kemajuan sosial
· Perencanaan ada dalam aparat negara
Masyarakat adalah objek kepada rekayasa dan negara
· Nilai-nilai kelas elit diupayakan mengalami ektensifikasi
· Tradisi ini menekankan adanya proses dialogis, relasi non hirarkis, komitmen untuk bereksperimen, toleran terhadap perbedaan dan pencarian ruang transaksi yang tepat
· Merupakan tradisi besar perlawanan
· Mempertanyakan kedudukan bagi mereka yang memiliki power dalam masyrakat secara berteori dan praktik transformasi sosial
· Mereka harus mencari cara untuk meningkatkan harkat masyrakat sehingga menjadi nilai-nilai emansipatoris


Sumber : Diding, 2001
Berdasarkan definisi luas planning yang dikemukakan oleh John Friedman dapat disimpulkan bahwa filosofi peran serta masyarakat dalam perencanaan mengalami suatu pergeseran, dari for people sebagai sifat perencanaan social reform menjadi by people sebagai sifat perencanaan dalam social learning.
Oleh karena itu dalam memahami perencanaan maka akan lebih baik apabila perencanaan dipahami sebagai sebuah upaya untuk membuat pengetahuan dan tindakan teknis dalam perencanaan yang secara efektif akan mendorong tindakan-tindakan publik. Pemahaman tersebut melahirkan sebuah pemikiran bahwa selayaknya perencanaan yang dilakukan dan disusun harus mampu memobilisasi seluruh sumber daya yang ada di masyarakat untuk mewujudkan rencana tersebut.
Namun faktanya yang saat ini banyak terjadi adalah mismatch antara tindakan masyarakat dengan rencana yang diinginkan. Hal ini, tidak bisa dipersalahkan kepada masyarakat semata dengan menganggap masyarakat tidak mengerti dengan rencana tata ruang, namun perencana pun harus mengevaluasi peran yang diambilnya yang menyebabkan kondisi seperti ini terjadi.
Beberapa tantangan yang harus dihadapi oleh dunia perencanaan terkait dengan relasi antara masyarakat dan perencanaan adalah :
1.   Rencana Tata Ruang belum menjadi dokumen populis yang menginternal di kalangan masyarakat. Penataan ruang atau perencanaan kota memang telah lama menjadi wacana publik yang dibicarakan. Akan tetapi untuk dokumen rencana sendiri, perencana (baik swasta ataupun Pemerintah) belum mampu mentransformasi dokumen rencana sebagai sebuah action plan bersama elemen masyarakat untuk mewujudkan kondisi ruang yang baik.
2.    Tidak akuntabelnya proses penyusunan rencana tata ruang. Proses perencanaan yang sangat teknokratik dan birokratik, seringkali menyebabkan proses tersebut menjadi sangat eksklusif. Akibatnya terjadi krisis kepercayaan terhadap produk ruang, baik dari segi kebutuhan, metode, hasil ataupun tindak lanjut. Dokumen rencana yang sangat birokratik sayangnya sering dianggap miring sebagai salah satu proyek semata saja oleh elemen masyarakat
3.   Mismatch antara rencana dengan perilaku masyarakat. Ketidakoptimalan para perencana dalam memobilisasi sumber daya dalam perencanaan tata ruang mengakibatkan tidak sinkronnya perilaku masyarakat dalam pemanfaatan ruang dengan dokumen rencananya sendiri. Misal pada satu wilayah diarahkan sebagai permukiman akan tetapi perilaku masyarakat mengarah kepada perdagangan. Sebuah rencana memang sejatinya memberikan arahan terhadap pemanfaatan ruang. Kolaborasi antara konsep teknis dengan realita di lapangan bukan sebuah usaha untuk kompromi, melainkan usaha untuk mendekatkan kesenjangan antara perilaku masyarakat dan arahan ruang.
Ketiga persoalan di atas sebenarnya bukan persoalan baru yang terjadi belakangan ini. Persoalan ini sudah bertahun-tahun dan belum ada sebuah kompromi mengenai cara menyelesaikannya.
Langkah Ke Depan
Penataan ruang pada hakikatnya merupakan sebuah upaya membuat rencana untuk kepentingan masyarakat. Sepertinya prinsip ini sudah disepakati oleh semua orang. Untuk itu langkah ke depan selanjutnya adalah bagaimana membuat masyarakat menjadi bagian dari proses perencanaan. Bagian dari proses perencanaan tentunya tidak bisa dengan mudah dilakukan lewat media sosialisasi dan diskusi publik. Ada tahapan-tahapan yang harus dilalui yang merupakan tugas perencana.
Tahu, peduli, paham dan bergerak. Ini adalah empat prinsip dasar dalam mendorong partisipasi masyarakat dalam perencanaan dokumen tata ruang. Perencana tidak dapat lagi berlindung di balik tameng birokrasi dan teknokrasi tanpa ingin terlibat dalam proses pemberdayaan masyarakat dalam bidang tata ruang. Melakukan perencanaan atas kepentingan masyarakat sejatinya seiring dan sejalan dengan melakukan perencanaan bersama masyarakat. Menjadikan masyarakat sebagai bagian dari proses perencanaan dan perencanaan bagian dariproses bermasyarakat.
Dalam perspektif perencanaan sebagai sebuah proses komunikatif, peran perencana sangat vital dalam perencanaan. Seorang perencana yang menentukan informasi seperti apa, akan diberikan kepada siapa, dengan cara apa dan untuk apa akan sangat menentukan hasil perencanaan dan posisi perencana di hadapan organisasi politik. Forester (1989) mengungkapkan peran perencana sebagai informan yang akan menentukan posisinya di hadapan aktor yang lain. Informasi yang dimiliki oleh perencana memberikan sebuah daya tawar yang kuat dalam menghadapi tekanan, intimidasi atau manipulasi yang datang dari aktor lain.
Peran perencana dalam menjembatani informasi dari dan kepada masyarakat merupakan salah satu langkah strategis yang diperlukan dalam memasyarakatkan rencana tata ruang ke khalayak luas. Mengatasi kesenjangan informasi antara perencana dengan masyarakat adalah agenda terpenting dalam merencanakan masyarakat. Perilaku masyarakat yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang ditenggarai merupakan akumulasi ketidakpuasan masyarakat terhadap rencana yang dibuat. Menyamakan pengetahuan antara masyarakat dan perencana adalah agenda kita semua sebagai perencana dalam merencanakan untuk masyarakat. Karena satu hal yang tidak mungkin apabila kita merencana untuk masyarakat tanpa berbagi informasi mengenai rencana tata ruang.

Diding. 2001. Kapasitas Forum Warga Sebagai Ruang Transaksi Sosial dalam Perencanaan, Studi Kasus; Forum Masyarakat Majalaya Sejahtera, Kecamatan Majalaya Kabupaten Bandung. Departemen Teknik Planologi Institut Teknologi Bandung, Bandung

Bencana dan Gagalnya Politik Tata Ruang

Bencana tanah longsor di perkebunan teh, Desa Tenjolaya, Kabupaten Bandung, bagaikan puncak gunung es dari beberapa kejadian musibah pada musim hujan, tahun ini. Provinsi Jawa Barat adalah yang paling parah, dengan banyaknya peristiwa bencana di wilayah ini.

Sebelum kejadian longsor di Tenjolaya, lebih dari satu minggu bencana banjir melumpuhkan kehidupan masyarakat di wilayah Bandung Selatan. Ada pameo yang menarik di wilayah ini: Bandung Utara dibangun, Bandung Selatan tenggelam, semakin tinggi rumah dibangun di atas bukit, semakin tinggi air menenggelamkan rumah di bawahnya. Fenomena kejadian bencana seperti ini hampir merata terjadi di seluruh wilayah Tanah Air. Musim hujan seperti identik dengan datangnya musim bencana.

Bencana adalah pebuktian terjadinya kegagalan politik tata ruang dalam menjaga dan melindungi fungsi ekosistem lingkungan. Infrastruktur kekuasaan di level nasional, provinsi, dan daerah seperti tak mampu untuk sepenuhnya menjalankan amanat penyelenggaraan penataan ruang seperti yang telah ditetapkan dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007. Fungsi negara untuk memberikan perlindungan kepada penduduk dari ancaman bencana banjir, rob, longsor, penyakit, dan kerusakan lingkungan sering terbentur pada belenggu koordinasi dan egoisme sektoral serta kepentingan otonomi daerah.

Negara telah gagal untuk menyejahterakan warganya, bahkan akibat kelalaian dari fungsi kekuasaan politik di bidang tata ruang, justru wargalah yang harus menjadi korban. Kekuasaan untuk menindak, menghentikan, melarang, dan mengingatkan tidak sepenuhnya dijalankan . Pembiaran alih fungsi hutan, alih fungsi lahan pertanian, serta mudahnya perizinan di kawasan lindung dan resapan air terjadi merata di setiap wilayah kota dan kabupaten.

Dalam menjalankan fungsi kekuasaan politik tata ruang, pemerintah daerah sering bertindak dalam kekaburan pemahaman. Tata ruang dilihat sebatas dari lengkap atau tidaknya dokumen rencana tata ruang wilayah (RTRW) dan peraturan daerahnya. Sementara itu, untuk menetapkan siapa yang harus menjalankan aturan dan bagaimana peran kelembagaan yang paling bertanggung jawab tidak jelas.

Penyelenggaraan penataan ruang saat ini hanya bersifat koordinasi, dan peran serta fungsi dari badan koordinasi saat ini tidak optimal. Tumpang tindih aturan antara kepentingan, sektor, pusat dan daerah, berimplikasi pada mekanisme lempar tanggung jawab jika ditemukan adanya penyimpangan atau bencana akibat penyalahgunaan kewenangan.

Hambatan institusional

Politik tata ruang gagal dijalankan akibat hambatan institusional dalam penyelenggaraan tugas pemerintahan di bidang penataan ruang. Hambatan masalah internal dan eksternal tercermin dalam wujud intensitas peningkatan bencana yang makin bertambah parah. Secara internal, banyak institusi lokal sejak awalnya tidak siap untuk menjalankan peran politiknya dalam mengatur tata ruang di daerah.

Pemahaman mengenai aturan-aturan yang sangat rasionalitas dan komprehensif dalam tata ruang masih sangat lemah sehingga motivasi dalam menjalankan aturan pemanfaatan dan pengendaliannya juga rendah. Itu ditambah dengan kapasitas sumber daya manusia yang juga tidak cocok untuk menjalankan kemampuan peran politiknya. Lemahnya kapasitas ini membuat posisi tawar dalam mengambil keputusan jadi tak berdaya ketika berhadapan dengan kepentingan pemilik modal atau pemilik kekuasaan yang lebih besar.

Secara eksternal, ruang partisipasi politik masyarakat sebagai subyek utama ”pemanfaat ruang” belum tertata. Akses politik warga sering tidak berjalan karena kemampuan interaktif sangat lemah dari masyarakat dan para pengelolanya. Komitmen politik untuk melakukan kerja sama menjaga lingkungan belum banyak tercipta. Jika pun ada, hanya sebatas ritual politik pada aksi-aksi seremoni. Sementara itu, jika berhadapan pada sisi kepentingan ekonomi yang lebih besar, terjadi pelunakan sikap oleh penguasa wilayah atau institusi lokal dengan memberikan fasilitas-fasilitas tertentu yang tidak sesuai dengan ketentuan tata ruang. Sanksi tidak dapat dijalankan sebab mekanismenya hingga kini belum tersusun secara sempurna.

Secara pencitraan, politik tata ruang saat ini adalah negatif. Segala bentuk kejadian bencana alam diidentikkan dengan kegagalan menjalankan fungsi penyelenggaraan tata ruang. Citra penataan ruang harus dipulihkan. Salah satu cara adalah dengan penguatan fungsi dan peran kelembagaan yang jelas dan tegas kewenangannya agar masyarakat dapat percaya akan kemampuan institusi lokal dan nasional untuk mampu mengatasi dan mencegah bencana serta kerugian jiwa dan material yang telanjur semakin menyengsarakan warga.

Yayat Supriatna Pengajar Masalah Tata Ruang di Teknik Planologi– Universitas Trisakti

http://cetak.kompas.com/read/xml/2010/03/01/04260379/bencana.dan.gagalnya.politik.tata.ruang